Selasa, 01 Februari 2011

Doa di Tengah Tatapan Mata Mereka



Oleh : Diasz Kundi ( alumni blok H )

Diterjang tatapan mata para hamba-Mu ini,
jantungku terasa pecah dan berantakan.
Wajah-wajah yang berdarah-darah,
tubuh-tubuh yang berpeluh-peluh,
berlumuran abu dan ketegangan.
Luka-luka yang menganga-nganga,
Mulut-mulut yang meronta-ronta,
Meratapi ganasnya celaka, oh petaka.

Suara adzan petang itu di lereng Merapi,
menjadi panggilan paling mematikan.
Gelombang debu neraka yang beterbangan
Menelan ternak dan ketentraman.
Mereka menjadi saksi adzab-Mu,
Menjadi saksi murka-Mu.

Murka-Mu, murka bumi kami.
Murka-Mu, murka langit kami.
Murka-Mu, murka samudera kami.
Murka-Mu, murka angin kami.
Dan kini murka-Mu menyulut murka gunung berapi kami.
Tanah basah tempat kami memungut rezeki.
Murka-Mu, murka semesta. Murka!! Murka!!

Diterjang tatapan mata para hamba-Mu ini,
jantungku jadi pecah dan berantakan.
Dimana anak mereka? Dimana keluarga?
Orang tua renta dan bocah-bocah tak berdosa
yang kami temukan terpanggang di pelataran
bukanlah para koruptor yang merampok kesejahteraan hamba-hamba-Mu
bukan para cukong yang menjejali perut mereka dengan kayu jarahan
bukan pula bajingan pajak yang mencuri kemakmuran dengan tipudaya

mereka hamba-hamba-Mu yang berkelahi dengan kemiskinan sehari-hari
yang mengais harapan dengan jari-jarinya yang suci
mereka hamba-hamba-Mu yang terbiasa mengganjal perutnya dengan batu
karena memang takut akan murka-Mu apabila menipu.

Murka-Mu membabi buta.
Murka-Mu melupakan rasa cinta.
Murka-Mu menjadi murka kami. Murka!! Murka!!

Diterjang tatapan mata para hamba-Mu ini,
jantungku pun pecah dan berantakan.
Doa-doaku terdengar seperti kecipak ikan koi
yang tersesat di comberan yang becek.

Wajah-wajah yang berdarah-darah,
tubuh-tubuh yang berpeluh-peluh,
berlumuran abu dan ketegangan.
Luka-luka yang menganga-nganga,
Mulut-mulut yang meronta-ronta,
Murka-Mu yang turun di tengah murka Merapi
tentu bukan karena dosa mereka.



Yogyakarta, akhir November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar